Dulu Keliling Diskotek Memburu Mahasiswi Bispak
Bisnis pornografi tak pernah mati. Itulah keyakinan Tasmi Soeryotirto, mantan pimpinan tabloid “panas” yang bertobat. Selain menerbitkan buku, kini dia aktif berkeliling Indonesia agar tak ada lagi gadis yang dieksploitasi ke bisnis esek-esek.
RIDLWAN HABIB, Jakarta
——-
SUDAH sekitar setengah tahun ini Tasmi Soeryotirto nyaman dengan busana barunya: jilbab dan pakaian yang hanya memperlihatkan telapak tangan dan wajah. Lingkungan pergaulan juga berubah drastis. Dari kehidupan malam yang gemerlap, wanita itu kini sering diundang menjadi pembicara di majelis-majelis taklim.
Sebagai pemimpin tabloid esek-esek terbesar di tanah air, wanita itu tahu banyak tentang praktik berburu “gadis” untuk bisnis pornografi, khususnya di ibu kota. Namun, desakan nuraninya membuat dia berhenti. Di berbagai forum pengajian itulah, dia bertestimoni agar ibu-ibu tidak kehilangan gadisnya akibat dieksploitasi bisnis ini.
“Salah satu sasaran yang paling mudah adalah para mahasiswa bispak,” kata Tasmi kepada Jawa Pos. Sebutan mahasiswa “bispak” ini, kata dia, kependekan “bisa pakai” yang ketika malam bertebaran di banyak diskotek di ibu kota.
Di tengah dentuman musik serta minuman beralkohol, Tasmi merayu gadis calon model telanjang untuk tabloidnya. “Saya akan bilang ke mereka. Kalau Anda mau tampil, harga Anda pasti akan naik. Juga pasti tambah laku,” ujarnya.
Tasmi tak sembarangan memilih tubuh yang siap dipajang. Selain bodinya harus seksi, wajah tak boleh asal-asalan. Tak harus cantik, tapi minimal parasnya cover face. “Maklum, kami ini jualan foto. Bisa dibilang 80 persen isinya kan foto, jadi tulisan hanya pelengkap. Itu pun harus nyerempet ke hal yang ngeres-ngeres,” katanya.
Enam tahun sebagai pimpinan redaksi Lipstik, nama tabloid itu, Tasmi paham benar industri media pornografi. “Saya inginnya perfeksionis. Jadi, saya tak hanya di belakang meja. Fotografer motret saya temani, cari kolam renang untuk latar foto, saya juga yang deal. Bahkan, cari bikini dan lingerie (pakaian dalam) saya yang pilihkan,” katanya.
Agar tabloidnya laku keras, Tasmi dan timnya butuh waktu satu bulan mengendus seorang calon model. Untuk keperluan lobi, mereka harus rajin keluar masuk kafe, diskotek, dan tempat-tempat pijat. “Kalau sudah tercebur di dunia ini, pasti kena gandengannya, ya ikut dugem, narkoba, dan seterusnya,” ujarnya lalu tersenyum.
Wanita lajang yang kini memasuki usia kepala tiga itu masuk ke tabloid esek-esek secara tak sengaja. Dia mengawali karir jurnalistik sebagai reporter berita kriminal di sebuah tabloid di Surabaya. Sekitar delapan tahun lalu dia dipindahkan ke Jakarta. Saat di ibu kota itulah, ada tawaran dari seorang teman untuk memegang sebuah tabloid biro jodoh. “Tak tahunya tabloid esek-esek. Tapi, karena godaan materi, saya mau saja,” kata wanita kelahiran Pulau Sambu, Kepulauan Riau itu.
Omzet tabloid Lipstik lumayan besar. Dalam tiga minggu, pendapatan iklan bisa Rp 60 juta. Belum lagi penjualan sekitar 40 ribu eksemplar per minggu tabloidnya. Sebuah pendapatan yang lumayan untuk usaha yang hanya dikelola belasan orang.
Distribusinya pun lumayan luas. Beberapa edisi tabloid kadang sampai ke pembaca di Papua, bahkan ke Malaysia untuk menyapa pekerja migran asal Indonesia. “Kami bisa memberi bonus, THR 150 persen, bonus tahun baru, pokoknya gede lah,” katanya.
Apalagi, model-model Lipstik tak semuanya minta bayaran mahal. “Ada yang Rp 400 ribu sekali pemotretan. Sekali itu artinya bisa ratusan frame. Terserah fotografernya,” katanya.
Begitu fotonya tampil, para model bispak itu umumnya juga memborong tabloid edisi tersebut. “Mereka bawa ke kafe-kefe sebagai bahan jualan. Ibaratnya jadi ratu semalam. Laki-laki hidung belang pasti penasaran ingin membuktikan, sama enggak foto dengan aslinya,” kata Tasmi. Apalagi, di samping foto ditulis hasil wawancara dengan model bertopik seputar ranjang dan seksualitas.
Tahu “harga” jualnya naik setelah dimuat, model-model bispak -yang sudah naik kelas- itu yang ganti merengek minta difoto lagi. Istilahnya sudah naik kelas. “Ada banyak yang sekarang jadi artis di televisi. Saya nggak usah sebut namanya. Nanti malu,” katanya.
Tasmi menggeluti dunia itu sejak 2000. Selama enam tahun dia berjibaku dengan aneka ragam protes. Berulang-ulang kantornya yang terletak di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, diteror orang. “Handphone saya diteror, di-SMS, diancam, tapi saya nggak kapok juga,” katanya.
Hati nuraninya sulit tersentuh. “Memang bagi saya efek terparah dari bisnis ini adalah tumpulnya nurani. Cuek dan tidak lagi peduli dengan orang lain,” ujarnya.
Dia juga mengaku tak takut dengan sweeping ormas-ormas keagamaan semacam Front Pembela Islam (FPI). “Kami paling tiarap satu minggu, habis itu genjot lagi,” katanya.
Kalau pas apes, dia memang berurusan dengan petugas keamanan. Pada Maret 2003, misalnya, Tasmi dipanggil Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Dia diinterogasi di bagian Reserse Umum. Dia dijerat dengan pasal 282 KUHP tentang melanggar kesusilaan di muka umum. Ancaman pidanya satu tahun enam bulan. Tapi, beruntung, kasusnya tak belanjut ke pengadilan.
Tersandung masalah dengan polisi tak juga membuat Tasmi jera. Bahkan, dua tahun berikutnya, oplah tabloidnya kian meningkat. Dia juga punya kenalan seorang oknum petugas yang akan mengontak kalau bakal ada razia. “Kami siasati dengan melihat momentum. Kalau bulan puasa, cover-nya kami ganti lebih tertutup dan mengurangi masa terbit,” katanya.
Kalau sebelumnya repot hunting cari model, setelah Lipstik makin dikenal, banyak calon model yang silih berganti minta diorbitkan. Tak jarang mereka merayu fotografer agar bisa tampil di cover depan Lipstik. “Kebijakan saya, setelah pemotretan selesai, ya sudah. Kalau ada affair dengan fotografer, itu di luar tanggung jawab kami. Untuk bisnis tabloid panas, biasanya fotografer harus nakal,” ujarnya.
Suatu saat kantornya didatangi seorang ibu setengah baya. Dia memohon-mohon agar anaknya dipotret sebagai model. “Ditelanjangi saja nggak papa, Mbak. Tolong, kami benar-benar butuh duit,” ujarnya menirukan ibu itu. Karena tak tega, model itu akhirnya dikontrak.
Pertengahan 2005, menjelang Ramadan, mobil Tasmi terjebak kemacetan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Ada demonstrasi mendukung RUU Antipornografi. Mayoritas pesertanya ibu-ibu yang berpanas-panas, berteriak sambil membentangkan poster.
“Saat itu baru ada desiran dalam hati saya. Kok ironi sekali ya, ada ibu yang demo, ada ibu yang justru memohon-mohon minta anaknya ditelanjangi,” katanya. Pergulatan batin Tasmi semakin menghebat ketika kantornya dilanda konflik internal.
Atas saran seorang sahabat, akhirnya dia memutuskan mundur dari Lipstik pada awal 2006. Empat bulan kemudian tabloidnya tutup. Semua karyawan dan awak redaksi berpencaran. “Setahun saya hanya menangis. Tak punya kerjaan, bingung, dan gundah,” katanya.
Tasmi lalu diajak mengikuti sebuah majelis taklim di Bekasi, Jawa Barat, dekat rumah orang tuanya. Pelan-pelan rasa percaya dirinya muncul lagi. “Padahal, sebelumnya saya takut bertemu orang. Saya sudah suudzon mereka tahu masa lalu saya,” kata alumnus Stikosa AWS (Akademi Wartawan Surabaya) itu.
Dia lalu menuliskan pengalaman hidupnya dalam bentuk novel berjudul Sebelum Cahaya-Mu Datang. Dalam kisah nyata itu dia memakai nama samaran Wiena Damayanti. “Awalnya tak ada yang mau menerbitkan. Saya kirim berulangkali, tapi ditolak terus,” katanya.
Akhirnya, April 2008, penerbit Hikmah (anak grup Mizan) bersedia menerbitkannya. Model Ratih Sanggarwati dan artis Inneke Koesherawati ikut menyumbang testimoni dalam novel setebal 421 halaman itu. Tasmi sering diundang dalam acara bedah buku dari satu forum ke forum lain. “Saya dedikasikan novel ini untuk ibu-ibu yang rela terpanggang matahari untuk mengusir wabah pornografi. Percayalah Bu, perjuangan Anda tak sia-sia,” katanya. (el)
Komentar Terbaru