Kiai Khos, Wali, dan Gus Dur

12 03 2008

“Kiai khos” merupakan istilah baru dalam tradisi Islam, bahkan dalam tradisi Indonesia sekalipun. Hanya tradisi tasawuf yang membahasnya. Kiai khos diduga merupakan pelebaran istilah wali. Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai pemelihara tradisi tasawuf. Namun, istilah kiai khos di kalangan NU sendiri merupakan fenomena baru. Bagaimana mitos “kiai khos” di NU muncul?

***

Kiai Khos, Wali, dan Gus Dur
Oleh Rizqon Khamami

Republika,
“Kiai khos” merupakan istilah baru dalam tradisi Islam, bahkan dalam tradisi Indonesia sekalipun. Hanya tradisi tasawuf yang membahasnya. Kiai khos diduga merupakan pelebaran istilah wali. Dunia wali memiliki jenjang tersendiri.

Dalam “Kasyful Mahjub”, Syekh Hujwiri bercerita bahwa wali memiliki hirarki tak terlihat. Wali tertinggi dijuluki Qutub (poros). Sebagai tokoh sufi terkemuka pada masanya, Wali Qutub memimpin pertemuan teratur antar-wali. Pertemuan anggota-anggota wali tersebut tidak terhalangi oleh kesulitan waktu dan tempat. Mereka datang berkumpul dari seluruh penjuru dunia dalam sekejap mata. Menyeberang samudera, gunung, padang pasir, semudah kita melompat ke tepi jalan.

Di bawah Wali Qutub berdiri bermacam tingkat wali yang ditentukan oleh kesalehan masing-masing. Syekh Hujwiri merincinya sebagai berikut: tiga ratus Wali Akhyar, empat puluh Wali Abdal, tujuh Wali Abrar, empat Wali Awtad, dan tiga orang Wali Nuqaba’. Terdapat empat ribu wali, lanjut Hujwiri, yang tersembunyi, dan wali-wali tersebut tidak saling kenal. Bahkan tidak tahu bahwa dirinya adalah seorang wali, begitu pula manusia lain.

Seorang wali, tulis R A Nicholson dalam “The Mystics of Islam”, disertai dengan petunjuk adanya karomah. Dikatakan, karomah adalah anugerah Allah bagi para waliyullah (jamak: auliya). Sedang ma’unah diberikan kepada siapa saja orang mukmin yang dikehendaki-Nya.Dalam penelitian Nicholson, tradisi karomah dalam Islam kebanyakan berkenaan dengan ramal-meramal dan pembacaan hati seseorang. Tidak lebih. Dicontohkanlah karomah yang dimiliki oleh beberapa wali, seperti Abu Sa’id ibn Abi al-Khoir dan Ibnu al-Farid, untuk menyebut beberapa contoh saja. Ahli keislaman dari Barat ini heran, tradisi karomah dalam Islam, kenapa hanya sekitar itu-itu saja? Dan kita layak bertanya, kenapa tidak, misalnya, mampu membuat emas, lalu dibagikan kepada rakyat Indonesia yang miskin? Dan membuat Indonesia seketika menjadi negara makmur. Atau lebih luas lagi, mengembalikan masa kejayaan Islam dalam sekedip mata seperti pada abad-abad awal kebangkitan. Malahan, menurut kelompok Islam modernis, justru ajaran sufi menyebabkan dunia Islam mundur.

Dalam Al Hikam, Syekh Atha’illah menegaskan bahwa tidak semua para wali, selama di dunia, dianugerahi karomah. Bisa saja karomah ditangguhkan untuk kelak di akhirat. Dan karomah, masih menurut Syekh Atha’illah, bukan satu-satunya tanda kewalian. Melakukan ritual sufi janganlah dimaksudkan demi kasyaf, karomah, dan sebangsanya. Tujuan yang merusak niat, karenanya marfudl, ditolak.

Tradisi sufi telah memunculkan banyak tokoh suci nan ikhlas. Salah satu contoh adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Disebut-sebut, Rabi’ah adalah wali dari kalangan wanita. Kendati begitu, wali wanita ini tidak menyebut dirinya waliyullah. Dalam perenungannya Rabi’ah hanya mengungkapkan tentang bagaimana seorang ‘abid (hamba Allah) masuk dalam kelompok khos atau tidak. Menurutnya, ibadah seseorang yang masih dalam tingkatan awam hanya diniatkan untuk mendapatkan balasan surga dan neraka. Sedang pada tingkatan khos, digerakkan semata-mata oleh hub (cinta). Karena itu, lantaran kedalaman hati, khos atau tidaknya seseorang sulit untuk diketahui.

Meskipun NU pemelihara tradisi tasawuf, namun istilah kiai khos di kalangan NU sendiri merupakan fenomena baru. Kemunculan istilah ini, saya duga, baru muncul satu dekade silam. Selama rentang delapan dekade usia NU, istilah ini sama sekali tidak sepopuler dibanding pada masa belakangan ini. Dan karenanya, lalu, PBNU meminta masyarakat untuk tidak menggunakan istilah kiai khos sejak tanggal 21 April 2004. Konon, karena memecah belah dunia perkiaian.

Bagaimana mitos “kiai khos” di NU muncul? Mitos ini tidak lepas dari peran KH Abdurrahman Wahid. Muncul, tepatnya, sejak pasca muktamar NU Krapyak. Diawali sejak sepeninggal Mbah Ali Maksum, guru dan pengayom Gus Dur. Menguat dengan wafatnya KH Ahmad Siddiq. Dengan hilangnya dua tokoh sepuh ini Gus Dur nyaris tanpa pembela. Posisi Gus Dur sangat rentan.

Apalagi, langkah Gus Dur sudah sejak awal bermuatan politis. Salah satunya, perlindungan Gus Dur atas orang yang paling bertanggung jawab atas kasus Tanjung Priok, Jenderal LB Moerdani. Dua orang ini “blasak-blusuk” ke sejumlah pesantren besar NU. Pada satu kesempatan, Mbah Liem (KH Muslim Imampuro), Klaten mengalungkan sorban. Menurut sumber yang dekat dengan penulis, pengalungan tersebut, konon, adalah sebuah doa dan simbolik “kasyaf” beliau bahwa tidak lama lagi Moerdani akan tercampak dari panggung nasional. Dan terbukti. Sejak itu Mbah Liem disebut-sebut sebagai kiai khos.

Langkah politik Gus Dur makin mantap ketika jajaran kiai khos bertambah dengan masuknya sejumlah tokoh sepuh, tiga Abdullah: Salam, Faqih, dan Abbas. Momentum paling tepat untuk melukiskan peran “kiai khos” ini adalah pada awal reformasi. Dengan mengatas-namakan keputusan mereka, Gus Dur, disertai satu langkah jitu, meraup dukungan warga NU tanpa ‘reserve’. Pihak non-NU, demikian pula, tidak ragu-ragu untuk mencalonkannya menjadi presiden. Insting politik dan kecerdasan Gus Dur menghasilkan buah.

Saya tidak setuju dengan pendapat umum bahwa “Gus Dur memanfaatkan para kiai untuk kepentingannya. Kini, banyak kiai sudah mulai sadar “dikibuli”, dan pelan-pelan memberontak”. Pembacaan ini, menurut saya, tidak tepat. Karena seakan-akan menempatkan para kiai sepuh sebagai pihak yang “dikerjain”. Tapi, bagi saya, keadaan yang ada justru sebaliknya.

Dengan kenyataan beberapa kiai sepuh berhasil dimunculkan oleh Gus Dur menjadi kiai khos, di situ tampak kearifan para kiai dan sekaligus kepiawaian Gus Dur. Antara Gus Dur dengan para kiai khos terjalin ‘simbiosis mutualisme’, saling menguntungkan. Meskipun berangkat dari niat ikhlas semata-mata, namun bagi para kiai sepuh pemberian gelar tersebut berdampak cukup besar terhadap posisi sosial, politik, dan bahkan ekonomis mereka. Antara Gus Dur dan kiai khos saling membantu pribadi masing-masing untuk muncul sebagai tokoh nasional yang disegani. Gus Dur dalam lapangan politik, para kiai sepuh pada lahan spiritual.

Dalam bahasa Moeslim Abdurrahman, Gus Dur sangat cerdas memainkan peran khadam bagi kiai-kiai pesantren. Dan para kiai sendiri, saya amati, berharap bahwa Gus Dur bisa menjembatani aspirasi mereka dalam dunia politik. Antara Gus Dur dan para kiai saling melengkapi. Tumbu ketemu tutupe, klop sudah.

Yang sangat mencolok, semua tokoh yang disebut-sebut sebagai kiai khos merupakan kiai sepuh PKB. Tidak satu pun kita jumpai kiai sepuh dari pendukung PPP. Jadi, kiai khos merupakan “kuda politik” Gus Dur. Campur tangan PBNU dalam penghapusan istilah ini dari panggung nasional tidak akan berpengaruh apa-apa selama Gus Dur masih lincah bermain politik. Pertanyaan yang layak diajukan: kenapa imbauan PBNU ini baru dikeluarkan ketika menjelang pemilihan presiden RI?

dicuplik dari : Republika Online