Kopi Kitapun Sudah Di Patenkan Negara Lain

8 06 2008
Paten Kopi Gayo Milik Belanda, Toraja Milik Jepang
Kopi Toraja sudah menjadi identitas rakayat Tanatoraja di Sulsel. Ternyata hak paten kopi toraja milik orang Jepang, sehingga Indonesia tidak bisa mengekspor komoditas itu dengan merek Toraja.

Rabu, 28 Mei 2008 | 15:42 WIB

BOGOR  – Merek kopi Gayo dan kopi Toraja ternyata sudah dipatenkan oleh pengusaha Belanda dan Jepang, sehingga petani di Indonesia tidak bisa mengekspor kedua jenis komoditas tersebut dengan nama kopi Gayo atau Toraja.

Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin mengungkapkan, kopi Gayo sudah dipatenkan sebagai merek dagang oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda, sedangkan Kopi Toraja dipatenkan oleh sebuah perusahaan Jepang.

“Akibatnya petani tidak bisa lagi memakai merek Kopi Gayo,” katanya seperti dilaporkan ANTARA dalam seminar nasional “Dekonstruksi Politik Pertanian Menjelang 2009 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu.





Kopi Luwak Indonesia, Rp 1 Juta Secangkir di London

8 06 2008
Musang (Paradoxurus hermaphroditus) memanjat pohon.

Kamis, 10 April 2008 | 17:14 WIB

LONDON, KAMIS – Bertanyalah kepada orang Inggris, kopi apa paling mahal di dunia, maka bangsa peminum teh itu akan menjawab kopi yang diambil dari kotoran musang. Anggapan ini mungkin sama dengan masyarakat tradisional Indonesia.

Mengapa termahal? Di Inggris kopi yang bekas dimakan musang (Paradoxurus hermaphroditus) dan keluar lagi bersama kotorannya itu dijual dengan harga 50 poundsterling atau hampir Rp 1 juta. Demikian dilaporkan Daily Mail dalam situs internetnya, Kamis (10/4).

Mungkin ketika mendengar asal kopi itu, penikmatnya akan gemetar. Namun bagi kafe Peter Jones, itulah yang membuat kopi itu juara. Kafe di Sloane Square itu menjual espresso, Americano dan latte dengan biji kopi itu mulai April.

Mau tahu dari mana Jones mendapatkan bahan baku yang akan membuat kafenya terkenal itu? Ia membeli 60 paket eksklusif campuran Jamaica Blue Mountain dan Kopi Luwak dari Indonesia. Biji kopi ini termasuk langka, karena dipanen kurang dari 200 kg per tahun.

Diyakini, luwak (musang dalam bahasa Jawa) itu bisa memilih biji kopi terbaik berdasarkan nalurinya. Mereka memilih biji yang lembut dan memakannya, tetapi hanya bagian luarnya yang bisa dicerna, sedangkan sisanya dibuang bersama kotoran. Cairan kotoran itulah yang diyakini memperkaya cita rasa kopi luwak itu.

Sekarang, para pelanggan Jones bisa merasakan sendiri sensasi kopi luwak itu. Sedangkan semua keuntungan dari penjualannya akan disumbangkan untuk penderita kanker.

Salah satu pelanggan Jones, Hannah Silver (23) mengatakan, “Saya sebenarnya agak khawatir sebelum mencoba, tetapi ternyata saya sangat suka. Agak berasa tanah dan sangat lembut.”





Cepat, Hunting Pasangan!

8 06 2008

Jangan Sampai Kehabisan, Commencement Sudah Dekat !

Cinderella harus menunggu lama dan berdoa, hingga akhirnya seorang peri datang membawa senyuman. Dengan sihir, sekejap, cling.. cling.. cling.. Cinderella pun menjelma bak seorang putri. Bisa datang ke pesta, membuat sang pangeran terpesona, dan akhirnya hidup bahagia bersama… plok plok plok!Ini lagu karangan Wakijan alias Ian Kasela dengan Group Bandnya Raja.
Kamu? Nggak mungkin dong cuma menunggu lama dan berdoa. Berharap sang peri bakal datang? Hellooo.. ini bukan dunia dongeng!Ini juga bukan dunia Prenster yang menawarkan mimpi dan asa nan membumbung tinggi, Peri nggak bakal datang broo kalo lo sendiri nggak mencari. Secara nggak peduli kamu cowok atau cewek, yang ada, kamulah peri dalam hidupmu. Datangi target dan ajak jadi pasangan untuk menghadapi commencement day.

Good Luck Guy’s





Aku Jatuh Cinta

8 06 2008

Ya Allah, jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu.

Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu.

Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.

Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.

Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.

Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.

Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki
dan rindu abadi hanya kepada-Mu.

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu,
telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU,
telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kukuhkanlah ya Allah ikatannya.
Kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu
dan keindahan bertawakal di jalan-Mu…. ameen Ya Robb…

“AKU CINTA PADA MU KARENA DUA SISI CINTA…
AKU CINTA AKAN DIRIMU..
AKU SELALU MENGINGATI MU,
BUKAN YG SELAIN MU..
ADAPUN CINTA KARENA ENGKAU PATUT DICINTAI ..
AKU TIDAK MENGETAHUI ALAM SEBELUM AKU TAHU AKAN DIRI MU..
TIADA PUJI DALAM HAL INI,DAN ITU BAGI DIRI KU..
TETAPI..
PUJI DALAM HAL INI,
DAN ITU ADALAH HANYA UNTUK MU..YA RABB”





Kampanye Lesbi Professor AKKBB

8 06 2008

Profesor tidak jaminan pasti bener (benar, red). Banyak banyak pula profesor yang keblinger. Contohnya profesor dari kelompok AKKBB ini. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-237

Oleh: Adian Husaini

ImageNamanya sudah sangat masyhur. Media massa juga rajin menyiarkan pendapat-pendapatnya. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Biasanya menyuarakan aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia memang salah satu aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Beberapa buku sudah ditulisnya. Gelar doktor diraihnya dari UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gelar Profesor pun diraihnya.

Biasanya, dia dikenal sebagai feminis pejuang paham kesetaraan gender. Umat Islam sempat dihebohkan ketika Prof. Musdah dan tim-nya meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide ”aneh” yang tercantum dalam CLD-KHI tersebut. Misalnya, ide untuk mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, dan sebagainya. Sejumlah Profesor syariah di UIN Jakarta sudah menjawab secara tuntas gagasan Musdah dan kawan-kawan. Puluhan – bahkan mungkin ratusan — diskusi, debat, seminar, dan sebagainya sudah digelar di berbagai tempat.

Toh, semua itu dianggap bagai angin lalu. Prof. Musdah tetap bertahan dengan pendapatnya. Biar orang ngomong apa saja, tak perlu dipedulikan. Jalan terus! Bahkan, makin banyak ide-ide barunya yang membuat orang terbengong-bengong. Pendapatnya terakhir yang menyengat telinga banyak orang adalah dukungannya secara terbuka terhadap perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Pada CAP-230 lalu, kita sudah membahas masalah ini. Ketika itu, banyak yang bereaksi negatif, seolah-olah kita membuat fitnah terhadap Prof. Musdah. Ada yang menuduh saya salah paham terhadap pemikiran Musdah.

Untuk memperjelas pandangan Musdah Mulia tentang hubungan/perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian), ada baiknya kita simak beb erapa tulisan dan wawancaranya di sejumlah media massa. Dalam sebuah makalah ringkasnya yang berjudul ”Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini menulis:

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)

Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan di lingkungan aktivis lieral sendiri. Banyak yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis. Tidak heran jika pada 7 Maret 2007 pemerintah Amerika Serikat menganugerahinya sebuah penghargaan ”International Women of Courage Award”.

Sebenarnya, sudah sejak cukup lama Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai ”tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.

Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: ”Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.” Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.

Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Aal-Quran:

”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.”

Selanjutnya, dia katakan:

”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.

”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,” gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.

Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan ”orientasi seksual lainnya” termasuk juga ”orientasi seksual dengan binatang”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan Tinggi Islam tekenal ini tentu merupakan sebuah dukungan yang sangat berarti. Karena itulah, Jurnal Perempuan secara khusus memampang biodata Prof. Musdah. Wanita kelahiran 3 Maret 1958 ini lulus pendidikan S-1 dari IAIN Alaudin Makasar. S-2 ditempuhnya di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Jakarta. Begitu juga dengan jenjang S-3 diselesaikan di IAIN Jakarta dalam bidang pemikiran politik Islam. Aktivitasnya sangat banyak. Sejak tahun 1997-sekarang masih menjadi dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta. Tahun 1999-2000 menjabat sebagai Kepala Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Depag RI. Masih menurut birodata di Jurnal Perempuan, sejak tahun 2001-sekarang, Musdah Mulia juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Tapi, data ini ternyata tidak benar. Saya sempat mengkonirmasi ke seorang pejabat di Departemen Agama tentang posisi Musdah Mulia ini, dijawab, bahwa dia sudah dikembalikan posisinya sebagai peneliti di Litbang Depag.

Banyak yang bertanya, apa yang salah dengan pendidikan Prof. Musdah? Mengapa dia menjadi pendukung lesbian? Jawabnya: Wallahu A’lam.

Yang jelas, Musdah Mulia memang seorang ’pemberani’. Amerika tidak keliru memberi gelar itu. Dia berani mengubah-ubah hukum Islam dengan semena-mena. Dia memposisikan dirinya sebagai ’mujtahid’. Dia berani menyatakan dalam wawancaranya bahwa:

”Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.”

Para pakar syariah tentu akan geli membaca ”hasil ijtihad” Musdah ini. Seorang Profesor – yang juga dosen UIN Jakarta – pernah berargumen, di dalam Al-Quran tidak ada larangan secara eksplisit bahwa Muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ketika itu, saya jawab, bahwa di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing. Tidak ada larangan kencing di masjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum di dalam Islam? Tentu saja tidak. Melihat logika-logika seperti itu, memang tidak mudah untuk mengajak dialog, karena dialog dan debat akan ada gunanya, jika ada metodologi yang jelas. Sementara metode yang dipakai kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.

Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Karena itu, kita bisa memahami, betapa ”hebatnya” Musdah Mulia ini, sehingga bisa menyalahkan ijtihad ribuan ulama dari seluruh dunia Islam. Jika pemahaman Musdah ini benar, berarti selama ini ulama-ulama Islam tolol semua, tidak paham makna Al-Quran tentang kisah kaum Luth. Padahal, dalam Al-Quran dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya):

”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:

“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw:

“… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan:

”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”

Camkanlah pendirian Ibu Professor AKKBB ini. ”Saya yakin ini!” katanya. Itulah pendiriannya. Demi kebebasan, orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia bisa juga berpikir: ”Tuhan pun bisa diatur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian dan sikap aktivis AKKBB seperti Mudah Mulia. Jika yang bathil dalam soal aqidah – seperti kelompok Ahmadiyah – saja didukung, apalagi soal lesbian. Meskipun sering mengecam pihak lain yang memutlakkan pendapatnya, Ibu Profesor yang satu ini mengaku yakin dengan pendapatnya, bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban.

Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa ’mengelus dada’, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki berpikirnya. Profesor tidak jaminan benar. Banyak profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai ”mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan mahasiswa yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.

Mudah-mudahan, Ibu Profesor aktivis AKKBB ini tidak ketularan watak kaum Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang, dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167). [Depok, 6 Juni 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com





Kekerasan Intelektual Oleh Islam Liberal Lebih Kejam Dari Kekerasan Fisik

8 06 2008

Ada baiknya kita palingkan pikiran kita sejenak. Di saat semua orang di negeri ini sibuk terperangkap polemik AKKBB dan FPI, seorang pemuda produktif, tergolek sedang mengalami perawatan. Ia, adalah Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan salah satu peserta apel di Monas.

Guntur yang juga Manajer Program Jurnal Perempuan, harus dioperasi atas luka-luka yang dialaminya. Kita berharap, pemuda produktif ini segera lekas sembuh.

Tidak satu pun orang menyanggah bahwa pengrusakan dan kekerasan fisik adalah kriminal yang layak dikutuk. Hanya saja, banyak orang tak bisa membedakan, selain ada kekerasan fisik, juga ada kekerasan intelektual.

Pemukulan dan penyerangan fisik, adalah perbuatan yang layak dikutuk. Tapi pelecehan ajaran agama, fitnah, hasutan provokatif, pengrusakan nilai-nilai agama dan moral bangsa adalah kategori kriminal yang jauh lebih terkutuk.

Dalam Islam, kriminal sering disebut dengan istilah jarimah dan jinayah. Kedua istilah ini selalu mengacu pada tindakan yang melampaui batas (i’tida) dan mengharuskan pelakunya menebusnya dengan hukuman baik berupa harta, nyawa, maupun sanksi dari pemerintah (ta’zir).

Dalam peritiwa Monas, 1 Juni lalu, banyak pihak mengecam tindakan FPI. Beberapa media massa yang dikenal nasional, mengecam dan menjadikan laporan seolah-olah FPI sebagai organisasi paling beringas di dunia. Sebuah media nasional bahkan membenturkannya dengan Pancasila.

“Aksi laskar Front Pembela Islam sungguh ironis. Mereka mengumbar keberingasan pada 1 Juni lalu, persis ketika hari lahir Pancasila sedang diperingati. Adakah kelompok yang mengatasnamakan Islam ini sengaja ingin melecehkan Pancasila?”, demikian penggalan editorial Koran Tempo, (3/6) kemarin.

”Negara Tidak Boleh Kalah”, demikian tulis Harian Kompas, (3/6), seolah-olah menekan pemerintah. Bahkan Koran yang pernah diisukan dimiliki kalangan Nashrani ini menurunkan tiga opini sekaligus, “Pancasila dan Kekerasan Agama”, “Agama yang Tidak Menghakimi”, dan “Kebebasan Anarkis.”

Kekerasan Intelektual

Kekerasan atas nama apapun adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sayangnya, sering kali masyarakat terkecoh –sebagian pura-pura tidak tahu—dengan bentuk-bentuk “kekerasan atas nama intelektual”.

Guntur , pria berusia 32 tahun ini masih tergolek lemah di RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, misalnyadikenal sebagai penulis cukup produktif dan dikenal sangat berani dalam mengusung isu-isu kebebasan berpendapat, meskipun harus menyinggung akidah dan ajaran yang paling mendasar dalam Islam.

Keberaniannya yang terkesan nekad dapat disimak dalam artikelnya bertema ”Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah”, yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007. Di situ dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah produk sejarah dan menguatkan pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, seorang liberal cabang Mesir yang kabur ke Belanda setelah diputuskan murtad oleh mahkamah negara asalnya. Di samping itu, dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah karya bersama yang merupakan hasil ’gotong royong’ antara Allah, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Tidak puas sampai di sini, mental keberaniannya –seolah-olah–telah memutuskan syaraf kepekaan sosial keagamaannya jauh sebelum menjadi korban FPI, dengan mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh dengan keyakinan Ebyon, sekte Kristen minoritas yang tidak mengakui Nabi Isa mati disalib. Pendapatnya ini didasarkan –di antaranya- hanya gara-gara Nabi Muhammad merasa berhutang budi pada Waraqah bin Naufal, rahib sekte Ebyon yang telah berjasa mengawinkan beliau dengan Khadijah. Maka sebagai balasannya, Nabi akhirnya memasukkan salah satu unsur keyakinan Ebyon dalam ajaran Islam.

Dalam sebuah tulisan di Kompas, (1/9/2007), dalam tulisan berjudul, ”Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen”, Guntur mengatakan, bahwa Muhammad SAW bisa menjadi Nabi hanya berkat bimbingan tokoh cerdik pandai Kristen.

Memang harus diakui bahwa pria –yang kabarnya– saat ini dalam kondisi perawatan, adalah pengusung kebebasan berpendapat dan tokoh liberal sejati, meskipun kerap melewatkan bukti dan argumen yang valid ketika berpendapat. Sebab bagi “liberal” sejati tidak perlu terikat dengan sebuah bukti, argumen maupun etika untuk menyatakan idenya. Ketika seorang liberal masih merasa terikat dengan hal-hal yang menghalangi kebebasannya, dia tidak lagi liberal dan tidak layak disebut tokoh pengusung kebebasan berpendapat.

Dalam sebuah jurnal yang mengusung paham feminisme radikal, didapati artikel yang berjudul: ”Lesbian Dalam Seksualitas Islam”. Artikel Mohamad Guntur Romli ini sangat berani bahkan keberanian penulisnya dalam mengutarakan kebebasan berpendapat layak diacungi jempol. Bagaimana tidak! Kesalehan tokoh sekelas Umar bin Khathab RA yang tidak diragukan oleh kaum Muslimin, dikotorinya dengan mengisahkan beliau sebagai pelaku anal sex. Tuduhan negatif terhadap mertua Rasulullah ini dia sandarkan pada tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, karya Imam Suyuthi. Namun setelah saya lacak dalam tafsir tersebut, ternyata Imam Suyuthi tidak pernah menulis seperti yang dituduhkan penulis artikel tersebut terhadap Umar RA.

Pada intinya, artikel ini secara terselubung mengkampanyekan halalnya homoseksual dan lesbian dengan cara mengacak-acak kandungan Al-Quran. Dengan mengutip beberapa ayat berkenaan dengan kisah kaum Nabi Luth, dia kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang berdasar atas keraguan akalnya: ”Benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja? Dan benarkah kisah itu benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah?”.

Dalam menyikapi berbagai kisah yang terdapat dalam Al-Quran dan menganggapnya sebatas metafor, pria ini menulis: Kalau saja Al-Quran berani ”mengarang” laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad dan pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad? Ada sebuah persangkaan dan keraguan atas Al-Quran.

Pada akhirnya, artikel ini mengajak pembaca untuk bersikap kritis dan membedakan antara homoseksual saat ini dengan ”homoseksual” (dengan tanda kutip) yang terjadi pada sejarah Islam. Bagi pria yang kini tengah mendapatkan perawatan di RSPAD Gatot Subroto ini, tidak ada bedanya antara homoseksual dan heteroseksual. Bedanya hanya terletak pada kenikmatan seksual seseorang dan bagaimana ia mendapatkannya. (JP 58, hal. 75-93)

Tuduhan, kecaman, terhadap para ulama, melecehkan agama yang diyakini milyaran orang tak lain adalah salah satu bentuk “kekerasan intelektual” di negeri ini.

Yang menyedihkan, “kekerasan intelektual” justru dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi dan kebebasan beragama.

Umumnya, sebagian orang –terutama media massa—menjadikan kasus FPI sebagai bentuk kekerasan paling jahat. Sementara tak menganggap kaum intelektual yang “bermain-main” dengan akal hanya untuk sebuah kebebasan berpendapat bukan sebuah “kekerasan”.

FPI tidak tahu siapa itu Guntur, Syafi’i Anwar dan korban-korban yang terhitung luka parah akibat insiden Monas 1 juni lalu. FPI bukanlah organisasi akademis yang bergelut dengan seminar, diskusi dan tumpukan makalah. Kemauan mereka sangat sederhana, bubarkan Ahmadiyah yang telah melecehkan Islam! Mungkin ceritanya akan lain, jika sebelum terjadinya insiden itu, FPI mengenal Guntur dkk dan mengetahui sepak terjangnya dalam melecehkan Al-Quran dan ajaran Islam. Boleh jadi massa FPI jauh lebih garang dan bisa-bisa, akan berdiri “monumen kebebasan” yang menyedot dana ratusan juta dari berbagai Negara di Monas. Dan Guntur memperoleh “award”.

Radical Liberalism dan Kebebasan Bermartabat

Kebebasan yang bermartabat dalam Islam tidak membenarkan kebebasan berbuat kriminal. Bahkan Islam dengan tegas memaknai kebebasan sebatas pada kebebasan untuk melakukan hal-hal yang baik.

Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi sering disalahartikan pada sikap arogansi untuk menindas hak kebebasan kelompok beragama dalam menjalankan dan meyakini ajarannya. Bahkan saat ini, para pengusung kebebasan beragama cenderung mengarah pada paham radical liberalism.

Kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan fenomena perhelatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 lalu. Kegiatan intelektual yang bermartabat seperti ACIS, justru digunakan untuk mengembangkan paham radical liberalism yang berwawasan anti-perbedaan. Perhelatan ACIS VII yang dimeriahkan dengan lomba debat antar mahasiswa se-Indonesia yang mengusung tema-tema untuk memojokkan Islam, seperti: Formalization of Syariah as the Real Enemy of Democracy; Ranjau Formalisasi Syariat; Mendamaikan Syariat Islam dengan demokrasi Pancasila; Pancasila dalam kepungan formalisasi Syari’ah Islam; Menolak Poligami: ditinjau dari berbagai pendekatan, Pembaharuan Hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan suatu keharusan; Benarkah poligami sebagai sunah nabi? Dan masih banyak tema-tema menyeramkan lainnya.

Tampilnya sejumlah narasumber asing non-Muslim untuk berbicara di depan para akademisi Muslim tentang studi Islam adalah bukti betapa peran agen-agen Barat di lingkungan Departemen Agama RI dalam menentukan arah studi Islam di PTAI tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dalam sesi paralel “Islam dan Masalah Hak Asasi Manusia (HAM)” misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha mendiskriditkan hukum Islam, ulama fikih yang bermartabat dan memposisikan MUI sebagai pihak terdakwa. Dalam makalah “Mengubah Wajah Fikih Islam” misalnya, mengusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa pluralis yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama. Pemakalah juga menuding fatwa MUI yang menyatakan kelompok Ahmadiyah sesat dan menyesatkan telah merampas hak kebebasan ini dengan cara membenturkannya dengan Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) 1948 dan UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29.

Berkenaan dengan kebebasan beragama, seorang pemakalah tambil membawakan tema: “Menakar Kebebasan Beragama di Indonesia”, menegaskan bahwa: Agama dan beragama adalah semata-mata untuk manusia bukan untuk apapun atau siapapun. Oleh karena itu tidak ada hak pada apapun atau siapapun termasuk itu Tuhan untuk memaksakan agama tertentu kepada manusia. Dalam uraiannya, kebebasan beragama secara operasional didefinisikan pemakalah dalam pengertian sebagai berikut: Kebebasan beragama sekaligus bermakna tidak hanya kebebasan untuk beragam atau memilih agama, tidak hanya kebebasan untuk menghayati atau memaknai agamanya sesuai dengan keyakinan teologisnya, tapi lebih jauh kebebasan beragama juga bermakna kebebasan untuk tidak beragama. Tapi saya tidak ingin berbicara tentang kebebasan untuk tidak beragama, karena soal ini sudah dikunci di negeri ini, komunisme sudah dihabisi, jadi segala pikiran-pikiran ateistik sudah dikesampingkan, maka saya akan berbicara kebebasan beragama dalam konteks kebebasan untuk memilih agama, untuk beragama sekaligus memaknai agamanya sesuai dengan keinginannya.

Pemakalah juga menyesalkan pembekuan aliran-aliran yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dsb. Sehingga dalam menyoroti kedudukan MUI, dia menyatakan: “MUI misalnya, dalam amatan saya itu lebih menampilkan diri sebagai provokator konflik secara tidak langsung atau mungkin secara langsung”. Lebih lanjut saat mengomentari sebuah slogan yang disanjung-sanjung oleh kelompok yang Islamisis yang menyakini Islam sebagai al-Din wa l-Daulah (agama dan negara sekaligus), dia mengatakan: “Apapun bentuknya, itu adalah suatu perselingkuhan. Maka apa yang muncul kemudian seperti partai Islam itu adalah anak haram dari perselingkuhan agama dan negara. Satu jalan menurut saya, jalan keluarnya hanya satu agar tampil relasi agama dan negara yang setara (yaitu) hanya satu, melalui jalan sekularisasi”.

Beberapa fenomena liberalisasi agama yang muncul di tanah air, menguatkan indikasi merambahnya paham radical liberalism yang tidak lain adalah pembaratan ideologi rakyat Indonesia yang disusupkan melalui LSM-LSM lokal. Prinsip dasar paham ini sebenarnya adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Padahal paham liberalisme telah terbukti membawa dampak negatif bagi sistem masyarakat Barat, seperti mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.

Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya. Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin negara yang paling liberal di dunia.

Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas. Ujung-ujungnya paham radical liberalism adalah paham kebebasan bersuara dan kebebasan untuk tidak mendengarkan suara pihak lain yang berbeda.

Akhirnya paham ini mengukuhkan paham diktatorisme, di mana kelompok yang paling kuatlah yang akhirnya berkuasa. Dalam konteks bernegara, paham ini diam-diam meneriakkan slogan kebebasan untuk semua, yaitu rakyat bebas berbicara dan pemerintah pun bebas untuk tidak mendengarkan suara rakyat.

Sebagai penutup, konsep kebebasan dalam Islam merujuk pada kata ikhtiyar yang berakar kata khair (baik). Jadi umat Islam tidak dibebaskan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sebab hak kebebasan seseorang senantiasa terbatas dengan hak kebebasan yang dimiliki orang lain. Pada intinya, kebebasan yang dilahirkan dari paham radical liberalism adalah kebebasan yang tidak bermartabat. Dan biasanya selalu melahirkan kekerasan intelektual yang lukanya jauh lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Lallahu ‘a’lam. [www.hidayatullah.com]

Penulis alumni ISID Gontor & International Islamic University Malaysia (IIUM), Faculty of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, Department Usul al-Din and Islamic Thought.





Menulusuri Kehidupan Mantan Panglima Laskar Jihad

8 06 2008

Disarikan dari Jawapos, Minggu 08 Juni 2008

Ustad Ja’far Umar Thalib dulu identik dengan panglima Laskar Jihad yang menekankan kekuatan fisik. Setelah Laskar Jihad bubar, ustad karismatis itu kini makin menekuni kegiatan dakwah dengan cara modern dan damai.

SYUKRON MUTTAQIEN, Sleman

——-

TIDAK sulit mencari tempat tinggal Ustad Ja’far Umar Thalib. Rumah yang menjadi satu dengan pesantrennya terletak di Dusun Degolan di kawasan Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta. Pesantren Ihya’ As Sunnah itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari Jalan Kaliurang Km 15 menuju objek wisata berhawa dingin di kaki Gunung Merapi.

Ketika Radar Jogja (Grup Jawa Pos) datang ke pesantren yang tidak terlalu jauh dari kampus terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) itu, Jumat (6/6), para santri baru saja menunaikan ibadah salat Jumat bersama warga sekitar. Para santri kemudian bersama-sama makan siang di ruangan berukuran sekitar 7 meter x 8 meter.

Seperti layaknya pesantren salafi, para santri makan ala kembulan, yakni satu nampan digunakan untuk makan secara bersama-sama. Menu makan siang itu: nasi, sayur, dan ikan laut.

Radar Jogja diterima Ustad Ja’far – panggilan akrab Ustad Ja’far Umar Thalib- di ruang maktabah (perpustakaan) pribadi Ja’far yang ada di dalam kompleks rumahnya. Di ruangan yang sejuk ber-AC tersebut terdapat ratusan kitab -kebanyakan berbahasa Arab- yang tertata rapi. Ada meja bundar di tengah ruangan yang biasa dipakai Ustad Ja’far membaca kitab.

Saat wawancara dengan Radar Jogja, Ja’far ditemani dua santrinya. Salah satu di antara santri itu membawa handycam dan mengabadikan seluruh percakapan.

Ja’far mengakui, saat dirinya memimpin Laskar Jihad dulu, ada upaya untuk membelokkan opini dan menyudutkan gerakan yang dilakukannya. “Tudingan Islam garis keras hingga ekstremis dialamatkan kepada kami. Namun, kami tidak gentar,” tegasnya.

Menurut dia, perjuangan yang dilakukan di Maluku dan Poso dulu adalah jihad. Sebab, saat itu terjadi penganiayaan dan penindasan terhadap umat Islam. Saat itu, umat Islam yang minoritas di daerah tersebut dibantai oleh kelompok yang mencoba melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

”Namun, yang berkembang di masyarakat, perselisihan antaragama dan ras. Padahal, kami melakukan ini karena tidak adanya sikap tegas dari pemerintah ketika itu,” kata pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Desember 1961 tersebut.

Munculnya reaksi masyarakat itu, termasuk adanya Laskar Jihad, menurut dia, akibat lambannya pemerintah memberikan perlindungan dan merespons persoalan yang terjadi. ”Coba kalau pemerintah tegas, masyarakat tidak akan main hakim sendiri,” tegasnya.

Ketidaktegasan pemerintah itu, katanya, juga dipicu adanya kegamangan para pemegang kebijakan dalam menentukan sikap. Sebab, mereka dibayangi ancaman pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelanggaran demokrasi. ”Demokrasi bukan berarti tidak bisa tegas, tapi mengakomodasi semuanya. Ini tantangan bagi para pemegang kebijakan,” tuturnya.

Saat ditanya soal munculnya gerakan yang menonjolkan “kekerasan” yang mengatasnamakan Islam, Ja’far mengatakan bahwa itu disebabkan kurangnya pemahaman tentang Islam secara mendalam. Sebab, pada dasarnya, Islam mengajarkan kasih sayang, kesejukan, dan kelembutan. Bukan aksi brutal dan anarkis.

”Tidak ada dalam Alquran yang mengajarkan kita untuk berbuat anarkis. Semuanya mengajarkan kasih sayang,” katanya.

Soal alasan jihad yang sering dipakai dasar bertindak oleh umat, Ja’far juga menanggapinya dengan kritis. Kata dia, untuk menentukan apakah perbuatan tersebut masuk kategori jihad itu tidak gampang. Selain memerlukan kajian keilmuan, juga harus diputuskan dengan pertimbangan para ulama dengan kajian yang matang.

Ustad Ja’far kini makin fokus mengurusi pondok dan dakwah. Alumnus Pesantren Al-Irsyad yang lama sekolah di Timur Tengah itu kini juga sering keliling Indonesia. Biasanya, dia memberikan bimbingan kajian Islam intensif di berbagai kota.

Pesantren yang berdiri pada 1990 itu mempunyai fasilitas cukup lengkap. Di kantor sekretariat terdapat komputer yang hampir 24 jam per hari tersambung dengan internet. Sebab, Ihya’ As Sunnah adalah salah satu di antara sedikit pesantren yang memiliki website sendiri (alghuroba.org). Dari tempat itulah, website tersebut dikelola. Termasuk memberikan respons kepada para pengakses yang bertanya tentang berbagai topik agama.

Kalau tidak ada kesibukan keluar kota dan tidak sedang mengajar, Ja’far biasa membuka website pesantren yang dikelola oleh Fikri Abu Hasan, 22, seorang santrinya. “Sudah diklik ratusan pengunjung setiap hari,” kata Fikri tentang website yang dibuka sejak tujuh bulan lalu itu.

Pesantren tersebut juga memiliki aula yang cukup luas serta kolam renang. Agar tubuh tetap bugar, para santri biasa berenang di kolam renang berukuran 35 x 20 meter di sebelah barat pondok itu pada pukul 08.00-09.00 atau setelah salat Asar pada sore hari. ”Ini bedanya dengan pesantren lain. Di sini santri juga terbiasa berenang,” ujar Fikri.

Materi pengajaran yang diberikan pesantren, lanjut Fikri, merujuk pada kitab-kitab karya ulama salaf, seperti Majemuk Fatawa, Tafsir As Sa’di, Syarkhus Sunnah Al Baghowi, dan Fathul Madjid. Namun, metode pemahaman yang diberikan Ustad Ja’far kepada santri berbeda dengan pesantren salaf kebanyakan.

”Ustad memahamkan materi kepada santri dengan cara khas beliau sehingga kami bisa memahami dengan cepat,” kata pria asal Jakarta yang pernah kuliah di Akakom Jogja itu.

Ada tiga bidang utama pengajaran di pesantren tersebut. Yakni tahfidhul Qur’an (hafalan Alquran), tadribud du’at (manajemen dakwah), dan tarbiyatun nissa (pengajaran perempuan). Santri mengaji sehabis subuh hingga petang. ”Malam hari dipakai diskusi dan pendalaman materi,” kata santri yang intensif belajar di Ihya’ As Sunnah sejak tiga tahun lalu itu.

Fikri mengaku sering mendampingi Ustad Ja’far memenuhi undangan kajian Islam ke berbagai kota. Dia mantap dengan pengajaran sang ustad. “Yang diajarkan adalah Islam yang damai,” ujarnya. (el)