Penyesatan Info Kampanye HIV-AIDS

8 06 2009

Sebuah harian terkenal di Jakarta, mengangkat kisah tentang Hidup Aman Bersama ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Diceritakan ada seorang pemuda menjalin cinta dengan seorang wanita yang sebelumnya pernah menjalani kehidupan seks bebas. Wanita ini ternyata telah didiagnosis terinfeksi virus HIV. Namun cinta sang pemuda, yang menurut pengakuannya senantiasa menjalani kehidupan baik-baik ini, tak lagi dapat dihalangi. Walhasil dengan restu keluarga sang pemuda, mereka pun menikah. Dengan bimbingan konselor kesehatan, keduanya menjalani kehidupan suami-istri. Entah kisah nyata atau ada yang direkayasa, fragmen cinta ini menjadi prolog pembahasan bagaimana hidup sehat bersama ODHA. Point pentingnya adalah jangan lakukan hubungan seks tanpa kondom!Luar biasa! Sebuah upaya promotif yang tanpa disadari justru menggiring masyarakat untuk bermain-main dengan virus mematikan. Seolah-olah kondom menjadi benteng penularan HIV-AIDS. Bahkan sepasang remaja yang belum terikat pernikahan pun disarankan untuk menggunakan kondom dalam rangka safety sex.

Komite Penanggulangan HIV-AIDS Nasional telah menyatakan Status Darurat terhadap bahaya penularan HIV-AIDS. Artinya, bahaya HIV-AIDS dan bagaimana pencegahannya sudah sangat mendesak untuk diketahui masyarakat. Namun, disadari atau tidak, ada penyesatan info di balik kampanye HIV-AIDS.

Kondomisasi, Celah Masuk Virus HIV

Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar. Berbagai media, seperti televisi, radio, internet, spanduk, pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai macam slogan banyak mendorong penggunaan kondom untuk â€کsafe sex‘.

Promosi kondom bahkan dilakukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat. Kampanye kondom ini juga telah masuk ke sekolah-sekolah. Meskipun mengundang banyak penolakan, kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai Mandiri) kondom. Hingga akhir Desember 2005 telah ada 6 lokasi ATM kondom di Jakarta yaitu di BKKBN pusat, RSPAD Gatot Subroto, Mabes TNI AD, Poliklinik Mabes Polri, Dipdokkes Polda Metro Jaya, dan Klinik Pasar Baru.

Faktanya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi justru membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan. Tumbuh rasa aman semu dengan kampanye penggunaan kondom. Mengapa semu? Karena alih-alih sebagai pencegah, kondom justru mempercepat penyebaran HIV/AIDS. Hal ini terbukti adanya peningkatan laju infeksi sehubungan dengan penggunaan kondom 13-27% lebih.

Bagaimana bisa dikatakan kondomisasi sebagai cara aman untuk mencegah penularan HIV, sementara diameter virus jauh lebih kecil daripada pori-pori kondom. Lebar pori-pori kondom 1/60 mk. Saat meregang pori-porinya melebar 10x. Sementara Virus HIV ukurannya 1/250 mk. Saat normal pori-pori kondom bisa dimasuki 4 virus HIV & saat regang bisa dimasuki 40 virus HIV. Ini hanya satu pori-pori padahal satu kondom terdapat banyak pori-pori & tentu saja pada saat dipakai pasti regang!

Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US:CDC:United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%.

Jadi jelaslah bahwa kondomisasi sama saja dengan menfasilitasi seks bebas. Tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian, kondomisasi sama saja dengan penyebaran seks bebas dan penghancuran terselubung umat manusia.

Hidup Aman Bersama ODHA, Penyesatan Berbahaya

Salah satu program penanggulangan HIV/AIDS yang banyak diangkat media massa adalah “Hidup Sehat Bersama ODHA” (Orang Dengan HIV/AIDS). Sebagaimana kisah cinta yang menjadi prolog tulisan ini, berbagai informasi menyesatkan bertebaran di berbagai media massa. Intinya mengopinikan agar tidak ragu berinteraksi bebas dengan ODHA. Salah satu isu yang sangat berbahaya adalah “interaksi intim dengan ODHA tidak membahayakan si sehat”. Alasannya adalah Hak Asasi Manusia (HAM) bagi ODHA. Padahal isu ini justru mengusik Hak Asasi orang yang sehat.

Selama fase-fase kritis, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) berada dalam kondisi yang memungkinkan penularan melalui darah dan/ atau cairan tubuh ODHA. Terlebih lagi karena ODHA sendiri maupun orang-orang disekitarnya tidak menyadari potensi tersebut, baik karena tidak terlihat gejala adanya infeksi HIV/AIDS pada penderita maupun karena hasil uji lab yang negatif.

Perjalanan penyakit diawali dengan adanya infeksi primer, yaitu bila sejumlah HIV dengan derajat virulensi tertentu masuk sistem peredaran darah, seperti melalui mukosa atau luka (meskipun sangat kecil), sementara itu sistem imun tidak mampu mencegah interaksi HIV dengan sel-sel imun (CD4) sebagai sel target. Fase ini dianggap kritis karena tidak terlihat gejala yang khas, sehingga pengobatan dan antisipasi kemungkinan penularan melalui darah dan cairn tubuh ODHA tidak bisa dilakukan segera. Biasanya penderita merasa lelah, terlihat adanya ruam kulit dan ulkus di mulut serta genital. Gejala tidak khas akan hilang 2-6 minggu kemudian.

Dalam waktu 24-48 jam sel dendritik yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional. Replikasi di sel limfosit berlangsung dengan cepat, setiap sel limfosit dapat mengeluarkan 5000 partikel virus, jumlah partikel HIV meningkat eksponensial secara terus menerus.

Respon imun terlihat baik di awal infeksi, tetapi tidak mampu mengatasi infeksi dan menurun sejak bulan pertama hingga 3 bulan kemudian. Akibatnya, uji serologi tidak mampu mendeteksi adanya infeksi, kondisi ini dikenal dengan sebutan Window Periode. Ini adalah fase kritis berikutnya, karena tidak terlihat gejala dan uji serologi juga negatif. Sementara itu, HIV terus bereplikasi, darah dan cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV. Pada fase inilah umumnya terjadi infeksi HIV melalui transfusi darah.

Pada stadium asimtomatik, penderita terlihat sehat-sehat saja, sehingga ODHA bisa hilang kehatian dan kewaspadaan untuk tidak menularkan dan demikian juga orang-orang disekitarnya. Sementara itu HIV bereplikasi secara aktif di jaringan limfoid, dan darah serta cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV. Fase ini berlangsung sangat lama, yaitu 3 hingga 10 tahun. Inilah yang menjadi alasan mengapa fase ini dianggap kritis.

Setelah melampai masa tanpa gejala, penyakit memasuki stadium AIDS, ditandai dengan penurunan kerja sistem imun yang signifikan, perkembangan neoplasma yang tidak lazim, serta berbagai infeksi opurtunistik. Pada keadaan AIDS lanjut terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh yang tajam, sehingga tubuh tak mampu membuat antibodi dan pemeriksaan serologi negatif. Sementara itu derajat virulensi HIV terus meningkat seiring dengan peningkatan stadium, ini berarti pada fase AIDS, risiko terinfeksi akibat terpapar darah dan cairan tubuh ODHA semakin tinggi.

Darah dan cairan tubuh ODHA berisiko menularkan HIV karena mengandung virus yang dapat bertahan hidup tujuh hari pada suhu kamar. Kadarnya adalah: 18.000 partikel/mL darah; 11.000 partikel/mL semen; 7.000/mL cairan vagina; 4.000 partikel/mL cairan amnion; dan 1 partikel/mL saliva. Tingkat risiko penularan tinggi adalah darah, serum, semen, sputum dan sekresi vagina. Cairan amnion, cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perikardial, cairan sinovial tergolong masih sulit ditentukan risikonya. Mukosa seviks, muntah feses, saliva, keringat, air mata dan urin tergolong risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah. Risiko meningkat jika orang yang menjadi sumber penularan dalam keadaan AIDS lanjut.

Oleh karena itu, sebaiknya dihindari untuk bersalaman, berciuman, penggunaan bersama: alat makan, toilet, sikat gigi, alat pencukur, dan alat-alat lain yang dapat terkontaminasi darah (termasuk darah haid). Orang yang terinfeksi agar tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan tubuh atau sperma. Wanita seropositif atau wanita dengan pasangan seksual seropositif, jika hamil bayi berisiko tinggi terinfeksi HIV. Setelah kecelakaan yang menimbulkan perdarahan, permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan pencuci rumah tangga yang diencerkan 1:10 dalam air. Alat yang menusuk kulit, misal jarum hipodemik, atau jarum akupuntur harus disterilisasi uap. Alat kedokteran gigi harus disterilisasi panas sebelum penggunaan ulang.

Adanya fase-fase kritis penularan, sementara itu darah serta cairan tubuh ODHA berpotensi menularkan HIV/AIDS, tetapi karena alasan HAM telah mengabaikan aspek kewaspadaan dan kehati-hatian. Jelas hal ini sama saja menfasilitasi penularan HIV/AIDS pada orang yang sehat. Upaya media massa menutup-nutupi informasi sebenarnya seputar AIDS, bahkan mengangkat isu yang keliru, sebenarnya justru menutup jalan penyelesaian yang tepat terhadap penanggulangan HIV/AIDS.

Metadon dan Bagi-bagi Jarum Suntik Steril

Penyebaran HIV/AIDS yang sangat cepat akhir-akhir ini diperkirakan karena penggunaan jarum suntik secara bergantian yang jumlahnya semakin banyak. Hal ini menjadi alasan untuk mensahkan program jarum suntik steril dan subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik.

Saat ini, strategi Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril telah menjadi salah satu layanan di puskesma-puskemas dan di klinik-klinik VCT (voluntary Counseling and Testing). Tercatat 18 Puskesmas percontohan, 260 unit layanan VCT yang tersebar di seluruh Indonesia.

Melalui layanan ini, para Penasun (pengguna NARKOBA suntik) dapat dengan mudah memperoleh metadon dengan harga cukup murah, yaitu sekitar Rp7500/butir. Kehidupan para Penasun yang lebih teratur, tidak melakukan tindak kriminal selalu diopinikan untuk membenarkan upaya ini. Namun benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak, mengapa?

Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis. Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon dan selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku. Hal ini karena NARKOBA dan turunannya mengganggu sistem atau fungsi neurotransmiter pada susunan saraf pusat, sehingga terjadi kehilangan kontrol dan menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya pada perilaku seks bebas. Perilaku seks bebas pada pasien yang mendapat terapi subsitusi metadon juga diakui oleh dokter yang berkerja pada salah satu program terapi rumatan metadon di Bandung. Sementara itu seks bebas merupakan media penularan terpenting HIV/AIDS.

Demikian pula pemberian jarum suntik steril kepada Penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas sulit di terima. Fakta menunjukkan bahwa peredaran NARKOBA di masyarakat berlangsung melalui jaringan mafia yang tertutup, rapi dan sulit disentuh hukum. Selain itu, sekali masuk perangkap mafia NARKOBA sulit untuk melepaskan diri. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. Dan setiap pemakai biasanya memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang. Dalam kondisi lemahnya ketaqwaan, himpitan ekonomi yang semakin berat, siapa yang bisa menjamin bahwa para pelayan penasun tidak akan “bermain mata” dengan para mafia narkoba? Bukankah bisnis haram ini menjanjikan untung yang mengiurkan? Dan bukankah ini justru membiarkan penasun sebagai penyalahguna NARKOBA? Siapakah yang bisa melakukan pengawasan 24 jam terhadap penasun, sehingga penasun dapat dipastikan akan menggunakan jarum sendiri?

Memberikan jarum suntik meskipun steril, di tengah-tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan pada penyalahgunaan NARKOBA, sehingga jumlah penasun justru kian membengkak. Dan yang penting lagi adalah para pengguna narkoba meskipun menggunakan jarum suntik steril tetap berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas akibat kehilangan kontrol.

Penutup

Demikianlah, penyesatan info di balik strategi penanggulangan HIV-AIDS hanya akan menambah ancaman ledakan HIV-AIDS di Indonesia. Program-program yang diadopsi dari masyarakat Barat, yang dilegalkan oleh PBB, sebenarnya bukanlah solusi. Bagi masyarakat Muslim, program-program ini hanya akan menyeret umat ke dalam jurang kesengsaraan. Sementara bagi masyarakat Barat sendiri, saat ini telah menjelang detik-detik kehancurannya.

Wallahu a’lam bishshowab

Penulis : Ir. Lathifah Musa

Rujukan : Diskusi dalam Forum Muslimah untuk Indonesia Sehat (FORMIT). Terima kasih banyak atas segala ilmu yang telah diberikan dan semoga memberikan kekuatan untuk mengungkap berbagai konspirasi Barat di bidang kesehatan


Aksi

Information

2 responses

4 03 2010
thomas

Seharusnya anda tidak membahas ini:
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis.
Karena ini memberi info kepada masyarakat bahwa obat-obat diatas termasuk kedalam jenis atau masih sejenis dengan narkoba.

5 08 2012
ratih

iya betul skali, dan satu lagi, bersalaman tdk trmasuk penularan hiv/aids

Tinggalkan komentar