BANYAK orang bertanya kepada saya, bagaimana saya bisa menulis lima buku bareng Philip Kotler? Padahal, beliau kerap disebut Father of Modern Marketing. Buku teksnya sudah diterjemahkan ke seluruh dunia. Buku-buku itu juga dipakai sebagai literatur wajib, baik di undergraduate maupun postgraduate program di seluruh dunia.
Sedangkan saya?
Saya cuma arek Suroboyo yang berani men-simple-kan marketing jadi model-model yang sederhana. Selain itu, diferensiasi saya adalah bisa menjelaskan model sederhana itu dengan cara yang sederhana pula. Gampang dimengerti.
Waktu saya kali pertama bertemu di Jakarta, Philip Kotler berbicara dalam seminar yang dihadiri 700 orang di Hotel Borobudur. Saya hanyalah peminta tanda tangan yang harus berebut dengan orang-orang lain. Saya juga pernah mengikuti dia sampai ke Bali. Saking pengennya mendekati Sang Guru Besar.
Gagal total, saya tidak putus asa…
Sampai pada suatu hari, saya punya kesempatan menjadi orang yang harus memperkenalkan Al Ries di Jakarta, pada sebuah seminar yang juga dihadiri ratusan orang. Waktu lima menit yang dialokasikan kepada saya ternyata benar-benar menarik perhatian sang pencipta konsep positioning itu.
Hubungan kami lantas berlanjut dalam bentuk kerja sama beberapa proyek konsultasi. Selain itu, setiap ke Amrik (Amerika Serikat), saya selalu mengunjungi dia. Sampai pada suatu saat, dia mau memberikan endorsement pada model saya. Nah, itulah yang akhirnya juga menarik perhatian Prof Warren Keegan yang buku teks International Marketing-nya juga sangat terkenal di seluruh dunia. Beliau itulah profesor pertama yang memasukkan model saya dalam appendix bab satu buku teksnya.
Dan… kayaknya memang ada yang ngatur di atas…
Philip Kotler waktu itu mengajar kelas international marketing menggunakan buku teks Keegan. Akibatnya…? Dia sempat tertarik pada model saya yang ada di situ. Apalagi, salah seorang mahasiswanya di Kellog Graduate School of Management yang dari Indonesia waktu itu adalah Victor Hartono yang sekarang jadi COO-nya Djarum.
Ketika bertemu saya di Chicago waktu itu, Victor memang mengatakan kepada saya bahwa dirinya tahu model saya yang terdapat di buku teks yang harus dia baca. Victor ingat model tersebut. Sebab, saya memang pernah diundang untuk ngasih in house di Djarum waktu Victor masih di Jakarta.
Pada 1998, ketika ada krisis Asia, saya diundang ke Moskow untuk bicara dalam World Marketing Association sebagai ketua Asia Pacific Marketing Federation. Saya juga tampil sebagai orang Indonesia yang diminta berceramah tentang krisis di negara saya.
Nasib baik memang ada pada saya. Sebab, Philip Kotler praktis tidak punya teman di Moskow. Orang Rusia pun belum banyak yang fasih berbahasa Inggris waktu itu. So, dia jadi punya waktu dan mau mendengarkan sesi saya yang bicara pas setelah dia.
Mendadak dia ingat nama saya karena pernah lihat dalam buku Keegan yang dipakainya di Kellogg. Wow… jadinya, waktu lunch saya pakai untuk menjelaskan reasoning di balik model-model sederhana itu. Dia sangat tertarik, justru lantaran kesederhanaan model tersebut.
Jadi, simplicity juga bisa jadi differentiation…
Sampai akhirnya, terjadi kesepakatan menulis buku pertama tentang krisis Asia. Jadi, Repositioning Asia terbitan John Wiley itu adalah gabungan analisis marketing yang mikro untuk meng-cover masalah krisis yang makro. Di situ, kami berdua berani meramal bahwa Asia akan naik lagi, tapi dengan tatanan lain. KKN akan berkurang dan marketing akan dijalankan secara lebih serius. Ternyata, yang kami ramalkan benar sekali.
Buku itu jadi best seller dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Nah, setelah buku pertama beres dan sukses, kerja sama-kerja sama berikutnya jadi lebih mudah. Sebab, sudah ada trust dari dia dan para penerbit internasional.
Ketika saya datang bersama Michael Hermawan yang lulusan Kellogg di perayaan HUT ke-75 pada 2006 di kampus marketing nomor satu di dunia itu, saya diminta mewakili para co-author-nya yang dari Asia. Mungkin karena saya yang paling sering jadi co-author dia. Ketika itu, ada presentasi lain dari Eropa, India, dan tentu saja Amerika sendiri.
Saya tidak pernah mimpi sebelumnya. Sebagai arek Suroboyo yang bukan doktor dan profesor, saya bisa bicara di depan semua crème de la crème-nya marketing ketika itu.
Nah, inti pelajarannya?
Sekali lagi, you don’t need to be better and the best. You just need to be different. Kalau tidak berhasil secara langsung, bangunlah brand Anda secara bertahap. Dalam kasus saya, kredibilitas pertama saya dapat dari Al Ries, terus ke Warren Keegan, dan akhirnya Philip Kotler. Membangun strong brand memang sering harus bertahap.
Lantas?
Yang terpenting, pertimbangkan untuk ber-co-branding dengan merek yang lebih kuat. Saya cuma orang lokal. Tapi, kenapa kok Philip Kotler mau? Ya karena saya different itu. Kalau saya cuma ngikuti dia, pasti akan lebih jelek. Dan dia tidak perlu co-branding dengan saya. Selain itu, sebagai orang Indonesia, ternyata saya punya ”advantage” karena dianggap paling ngerti krisis Asia. Maklum, krisis kita paling parah waktu itu.
So, masalahnya bagaimana kita bisa membalik kelemahan menjadi kekuatan. Selain itu, duet kami berdua memang selalu melengkapi. Dia profesor dari Barat, saya konsultan dan praktisi dari Timur. Nice, kan?
Itulah kira-kira syarat supaya brand yang lebih kuat mau diajak co-branding dengan brand yang lebih kecil.
Salah satu pembicara dalam sesi Branding di The MarkPlus Conference, 10 Juli, adalah Hengky Djojosantoso dari Axa Mandiri yang sedang naik daun. Axa adalah pemain internasional gede di bidang asuransi. Ia ber-co-branding dengan Bank Mandiri yang merupakan bank terbesar di Indonesia. Axa butuh channel dan market expertise di sini. Sedangkan Mandiri butuh produk asuransi dan sistem pemasaran yang solid.
Kalau Anda hadir dan mendengarkan langsung sharing beliau, pasti Anda akan belajar sesuatu yang sangat berharga. Bukankah Wali Kota (Bambang D.H.) dan Wawali (Arif Afandi) juga melakukan co-branding pada pilkada lalu? Dan sekarang keduanya merupakan pemasar-pemasar hebat untuk brand Surabaya.
Bagaimana pendapat Anda? (*)
Komentar Terbaru