Tokoh Idola Uli Abshar Abdalla: Orientalisme dan Al-Quran: Kritik Wacana Keislaman Mutakhir

29 06 2008

Berikut ini saya cuplik dari Hidayatullah.com, Bagaimana usaha -usaha kaum orientalis terhadap keotentikan islam, yang pemikirannya sangat mirip dengan islam liberal di indonesia ( baca: Ulil cs, red ) dan Jeffry merupakan tokoh idola ulil yang sering dikutip pernyataannya oleh ulil di tulisan-tulisannya. Berikut ini artikelnya :

Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan kawan-kawan bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran. Namun hingga kini tetap kokoh

ImageSudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani,” kutipan ini adalah pernyataan Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun 1927.

Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini mengatakan seperti itu? Tentu saja, ia bukan sedang bergurau. Pernyataan orientalis-missionaris satu ini karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran.

Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen telah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.

ImagePernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995). Menurut Barbara, sampai pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak yang melakukan koreksi.

Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi juga mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.

“Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Jerome sebagaimana dikutip dalam The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration (1992).

Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut kemudian diikuti oleh munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai “tadarrus” oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain Flegel, datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

ImageKemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di Indonesia.

Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini” kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ itu, terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.

Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson, “ “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Quran] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi, bagaimanapun, segala upaya mereka tak ubahnya bagaikan buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab suci Al-Quran, apatah lagi membuat mereka murtad.

Kekeliruan & Khayalan Orientalis

Al-Quran merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bagi mereka, Musa atau ‘Moses’ cuma tokoh fiktif belaka (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol.

Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus historis’, mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka.

ImageMuncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai “kepala perampok” (robber chief). Usaha Jeffery tersebut diteruskan oleh F. E. Peters dan belum lama ini dilanjutkan oleh seseorang yang menyebut dirinya “Ibn Warraq.”

Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat; “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.”

Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw. wafat, bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat Abbasiyyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang sahih, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya.

Pendapat ini telah banyak dikutip. Diantaranya dalam Muhammedanische Studien (Halle, 1889), On Muslim Tradition,” Muslim World, II/2 (1912): 113-21; Alter und Ursprung des Isnad ,” Der Islam, 8 (1917-18) juga Joseph Schacht dalam , A Revaluation of Islamic Traditions.” (Journal of the Royal Asiatic Society (1949)).

Umumnya para orientalis-missionaris menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw. sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.

Keaslian Al-Quran & Kesalahan Orientalis

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Quran adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin, atau to recite from memory).” Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.

Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu ‘alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.

Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada

Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal Al-Quran menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar as-Siddiq sehingga Al-Quran dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawattir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakar as-Siddiq r.a. (13 H/ 634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a. sampai beliau wafat (23 H/ 644 M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah komisi ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawattir yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Para orientalis yang ingin mengubah-ubah Al-Quran biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, That he [i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful.” Ia juga mengklaim bahwa “…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text.”

Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Quran ditulis ‘gundul’, tanpa tanda-baca sedikitpun.

Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Quran langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings –sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel— serta keliru menyamakan qira’aat dengan ‘readings’, padahal qira’aat adalah ‘recitation from memory’ dan bukan ‘reading the text’.

Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu ‘alaihi wa-sallam (“ar-rasmu taab’iun li ar riwaayah“) dan bukan sebaliknya.

Orientalis seperti Jeffery dan kawan-kawan yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel; Al-Quran bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Quran.

ImageBuku berjudul asli “Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran”, ini merupakan kumpulan berbagai artikel Dr. Syamsuddin Arief dari berbagai media massa. Meliputi; jurnal, harian, majalah, seminar dan colloquia. Meski demikian, isinya tidak mengurangi ketajaman dan keutuhan isi kandungannya, yang secara keseluruhan merefleksikan worldview Islam dengan jelas dan gamblang. Tulisan-tulisan ini ditulis disela-sela kesibukannya semasa menjadi mahasiswa S3 di ISTAC Malaysia dan juga ketika menempuh program doktoralnya yang keduanya di “sarang” orientalis di Frankfrut Jerman. Buku ini merupakan monograf perdananya yang kebetulan diterbitkan bertepatan dengan ulang-tahun INSISTS yang kelima pada 9 Februari lalu, momentum yang menandai pertautan antara penulis buku ini dan INSISTS sendiri. [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]





Pria Berpistol dalam Insiden Monas Katanya Polisi

29 06 2008

Polda Metro Jaya mengungkap pria berpistol yang terekam saat terjadi insiden Monas pada 1 Juni lalu. Pria itu katanya polisi. Tetapi mengapa harus mengacung-asungkan senjata? dan tak berseragam?

ImageHidayatullah.com–Kepolisian Daerah Metro Jaya Bidang Profesi dan Pengamanan telah menangkap dan mengamankan pria berpistol yang terekam saat terjadi insiden Monas pada 1 Juni lalu. Pria itu adalah polisi berpangkat bintara yang juga anggota Ahmadiyah.

Si polisi adalah Brigadir Kepala Iskandar Saleh, anggota unit kecelakaan di Satuan Lalu Lintas Polres Kota Tangerang.

“Dia diamankan provost Polres pada 23 Juni pukul 16.00 WIB,” kata Juru Bicara Mabes Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira di Markas Polda Metro Jaya, kemarin. “Dia masih dalam pemeriksaan Propam Polda.”

Menurut Abubakar, pada 1 Juni lalu Iskandar mendampingi mertua, istri, dan anaknya ke acara yang digelar Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. “Atas keinginan sendiri,” kata Abubakar.

Dalam pemeriksaan di Bidang Propam Polda Metro, Iskandar mengatakan bahwa pistolnya adalah revolver mainan. Propam juga mengecek ke Polres Tangerang, dan hasilnya Iskandar tidak termasuk satu di antara 73 petugas yang memiliki senjata api. “Tapi ini masih diselidiki. Sebab, katanya (pistol mainan itu) hilang,” kata Abubakar.

Meski Iskandar mengaku sebagai anggota Ahmadiyah, polisi juga akan mengecek ke pengurus Ahmadiyah Tangerang.
“Anda lihat sendiri di rekaman. Front Pembela Islam mengatakan (penyerbuan) dipicu pria yang mengacungkan pistol. Tapi tidak ada suara letusan,” kata Abubakar. Alasan ia mengacungkan pistol, katanya untuk melindungi seorang perempuan dan seorang anak. Tapi mengapa pula ia harus mengacung-acungkan senjata itu disaat segalanya sedang panik dan tak memakai seragam? [ti/www.hidayatullah.com]

Share this article





Hermawan Kertajaya : Leadership SBY dan Marketing

29 06 2008

SEORANG spokesperson memang harus tetap jadi juru bicara bagi bosnya. Karena itu, sesudah Andi Mallarangeng menerbitkan buku, Jumat (27/6) malam, Dino Patti Djalal me-launch buku Harus Bisa, Seni Memimpin Presiden SBY.

Karena buku tentang presiden, ruangan depan Museum Gajah yang dipakai sebagai tempat peluncuran penuh sesak. Yang datang mulai menteri, pejabat eselon tingkat satu dan dua, anggota DPR, sampai para duta besar. Maklum, Dino adalah orang Deplu yang dikaryakan ke SBY. Jadi, banyak rekannya dari kantor yang juga datang.

Bukunya enak dibaca dan punya bobot. Dino bisa mencampur penglihatannya pada yang terjadi sehari-hari bersama SBY dengan konsep-konsep dan filosofi yang dikuasainya.

Dino berkenalan secara intensif dengan SBY ketika dirinya menjadi direktur Amerika di Deplu. SBY ketika itu adalah Menko Polkam. Dari persahabatan itulah, timbul kesepakatan untuk memperjuangkan SBY jadi presiden. Pada saat SBY jadi presiden, Dino langsung diangkat jadi spokesperson, khususnya bidang luar negeri. Itu pas dengan pengetahuan dan pengalamannya.

Karena itulah, Dino punya banyak background personal ketika keputusan-keputusan sulit harus diambil. Saya sendiri diminta untuk memberikan komentar yang pertama pada acara Jumat malam tersebut. Saya langsung mengatakan bahwa positioning buku itu adalah “jawaban” kepada sebagian masyarakat Indonesia yang sering menanyakan gaya kepemimpinan SBY.

Ada yang bilang kenapa mesti ragu-ragu, padahal SBY kan the first directly elected president. Toh, mandatnya begitu besar ketika menang di babak kedua.

Ada tiga hal yang saya katakan malam itu. Satu, landscape antara SBY dan Soeharto beda total. Technologically, politically, economically, socially, totally different.

Zaman Soeharto dulu, TV pegang peran. Itu pun harus TVRI dan TV-TV swasta yang dipunyai teman dan anak-anaknya. Sekarang? Setiap orang bahkan bisa jadi publisher dan punya media. Bisa ngeblog, bisa punya website. Dengan demikian, orang bisa ngomong apa saja tanpa filter, tanpa screening. Mulai yang suka sampai yang gak suka, bisa bicara dengan anonim atau bahkan bisa pakai nama apa saja. Yang laki bisa ngaku perempuan, yang banci bisa ngaku straight, dan sebagainya. Seru ya?

Politik? Wah, yang ini tambah seru. Liat aja yang terjadi dengan hak angket BBM sekarang. Itu buktinya. Di zaman Pak Harto, mana ada partai non-Golkar memprotes kebijakannya. Saat ini? Walaupun sudah tahu bahwa itu adalah fenomena global, toh musuh-musuh politik SBY mempermainkannya.

Ekonomi? Siapa yang bisa kontrol harga komoditas dan minyak saat ini? Para spekulan bisa lebih powerful daripada menteri keuangan dan menteri perdagangan negara mana pun.

Socially? Wah, lebih kacau lagi. Dengan adanya teknologi Web 2.0 yang memungkinkan orang melakukan komunikasi global tanpa mengenal identitas, grass root leader sering lebih kuat daripada formal leader.

Kesimpulannya?

Landscape sudah berubah dari vertikal di zaman Soeharto jadi horizontal di zaman SBY. Jadi, agak tidak fair membandingkan kepemimpinan vertikal Soeharto dan kepemimpinan horizontal SBY.

Pada buku Harus Bisa itu, saya melihat banyak sekali pertimbangan yang harus dilakukan SBY dalam mengambil keputusan. Sekali salah, wah bisa repot. Di zaman Soeharto, tidak ada yang berani mengganggu gugat.

Hal kedua yang saya katakan malam itu bahwa yang penting buku tersebut harus menganut prinsip PDB yang solid. Artinya? Buku itu berusaha memosisikan horizontal leadership-nya SBY. Yang lebih penting lagi, positioning tersebut harus didukung oleh diferensiasi yang solid.

Dengan demikian, barulah image yang benar akan tercapai. Sebab, image memang tidak bisa dibuat. Image itu cuma akibat ketika orang melihat secara konsisten paralelnya positioning dan diferensiasi.

Dino, dengan bobot intelektualnya, pasti punya tanggung jawab moral untuk mempertanggungjawabkan yang ditulis. Di panggung juga ditulis besar-besar pesan SBY kepada Dino: ”Din, kalau kamu mau nulis buku saya, tulis yang objektif. What you see and what I have done. Itu akan abadi,” begitu kira-kira bunyinya.

Ketiga, sebagai orang marketing, saya tertarik pada kata “Bisa” yang di-owned oleh SBY. Waktu kampanye dulu, Bersama Kita Bisa. Waktu Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional, tema besarnya Indonesia Bisa, Sekarang Kita Harus Bisa.

Smart kan?

Kata “Bisa” itulah yang dulu juga dipakai Mahathir untuk membangkitkan semangat orang Malaysia dengan semboyannya, Malaysia Boleh!

Pelajarannya?

Strategi marketing kayak leadership juga karena sama-sama gak bisa mendikte customer. Ketika landscape berubah, so you need new wave marketing seperti yang sudah beberapa kali saya tulis.

Intinya? Ya horizontal marketing. Taruhlah customer Anda sejajar dengan Anda. Jangan di bawah, tapi juga ndak perlu terlalu atas.

Itu semua sudah basi.

Itu semua akan dibahas di The MarkPlus Festival, 10 Juli, karena saya tidak mau arek-arek Suroboyo ketinggalan meng-update ide dan konsep marketing­-nya.

Bagaimana pendapat Anda? (www.hermawankartajaya.com)