Tangan Yang Bermain di Monas

7 06 2008

(berpolitik.com): Insiden Monas tak hanya menenggelamkan isu kenaikan harga BBM bersubsidi. Tetapi juga kembali mengapungkan isu-isu laten yang selama ini timbul tenggelam.

Yang pertama kali kembali terapung adalah soal Pamswakarsa. Sekadar mengingatkan, Pamswakarsa adalah laskar sipil yang dipersenjatai dan difasilitasi untuk menghadang aksi massa yang menentang pelaksanaan Sidang Istimewa November 1998. Aksi massa ketika itu menganggap pemerintahan Habibie dan MPR tidaklah kredibel karena masih merupakan bagian-bagian dari orde baru.

Sebaliknya, di kubu Habibie, ada semacam bingkai, penentangan terhadap Habibie merupakan penentangan terhadap Islam. Dari pengutub-kutuban seperti ini, tak heran situasinya jauh lebih mencekam dari yang terlihat dari permukaan.

Sejauh ini masih timbul polemik menyangkut siapa yang ada dibalik Pam Swakarsa. Tudingan umumnya di arahkan kepada Wiranto, yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangab ABRI. Ini terutama sekali atas pengakuan Kivlan Zein, yang merasa ditinggalkan Wiranto setelah menuaikan tugas yang dibebankan kepada dirnya.

Di luar perkiraan, Pam Swakarsa yang rencananya dibentrokan dengan mahasiswa yang memusatkan gerakan di Universitas Atmadjaja, justru berhadapan dengan elemen masyarakat biasa yang rupanya dongkol melihat Pam Swakarsa “petantang petenteng” layaknya jagoan.

Kalau disebut jagoan tak sepenuhnya salah. Para komandannya umumnya adalah jawara-jawara silat yang sebagian didatangkan dari Banten. Belakangan, sebagain operator sipil Pam Swakarasa diketahui bergabung dengan Partai Daulat Rakyat. Ini adalah partai sekoci Habibie yang dibentuk oleh salah satu tangan kanannya: Adi Sasono. Resminya, PDR dipimpin oleh Latief Burhan dengan Sekjennya M. Djumhur Hidayat yang kini menjabat sebagai Kepala BNP2TKI.

Selain dari kalangan jawara Banten, milisi Pam Swakarsa juga diisi oleh kalangan pendekar betawi dan juga ormas-ormas Islam. Salah satun ormas Islam yang terang-terangan menjadi bagian Pam Swakarsa adalah KISDI pimpinan Ahmad Sumargono yang pernah tercatat sebagai petinggi Partai Bulan Bintang.

Pam Swakarsa dianggap sebagai cikal bakal kelahiran FPI. Namun, ada juga yang beranggapan, FPI dibentuk sebagai bagian dari pembentukan Pam Swakarsa. Argumentasi ini mengacu pada tanggal pendirian FPI (17 Agustus 1998). Jadi, FPI adalah bagian elemen pendukung Pam Swakarsa seperti halnya juga Kisdi.

Wiranto
Hingga kini, ikhwal Pam Swakarsa tak pernah terang duduk persoalannya.Tapi, jika menyangkut Pam Swakarsa, nama Habibie dan Wiranto selalu terserempet.

Berbeda dengan Habibie yang tak lagi secara formal berkontestasi politik, Wiranto jelas mendapat kesulitan setiap kali isu Pam Swakarsa muncul kembali. Isu ini sempat menohok dirinya menjelang pemilu 2004. Dan, kali ini, Wiranto kembali terkena imbasnya.

Secara lebih spesifik, Wiranto juga dikaitkan dengan keberadaan FPI. Ini terutama melalui Letjen Purn. Djaja Suparman dan juga Noegroho Djajusman, yang masing-masing ketika itu adalah Pangdam Jaya dan Kapolda Jaya. Meski tak ada bukti otentik keterlibatan dua jenderal ini, tapi keleluasaan gerak FPI di Ibukota disinyalir sebagai indikasi kuat keterlibatan mereka.

Tautan FPI dengan Wiranto semakin kuat lantaran FPI diketahui secara terbuka mendukung aksi-aksi ke Komnas HAM pada saat insitusi ini mulai mengungkit-ungkit kembali pelanggaran HAM berat yang melibatkan Wiranto dan sejumlah jenderal lain dalam kasus Timtim. Ketika itu, FPI menuding Komnas HAM sebagai antek-antek asing yang ingin mengobok-obok Indonesia. Pada pemilu 2004 pun, FPI secara terbuka memberi dukungan kepada Wiranto.
Wiranto sendiri telah membantah keterlibatan dirinya terhadap FPI.

Jika yang isu pertama cukup mendapat ruang dalam pemberitaan, isu kedua yang mengapung dengan cepat hilang dari media massa. Itu terkait tudingan Munarman kepada sejumlah LSM yang berada di belakang AKBB. Menurut Munarman, ada sejumlah LSM yang dibiayai asing yang bertujuan untuk merusak Islam melalui berbagai program seperti multikulturalisme dan sejenisnya.

Apa benang merah dari dua wacana yang mengapung ini?

Benang Merah
Pertama, wacana Islam versus anti Islam dalam berbagai versi sepertinya sudah menjadi “menu wajib” dalam pentas politik di tanah air. Ini terkait dengan aspiran “deklarasi Jakarta”. Meski ketika itu kandas, aspirasi ini rupanya terus tersosialiasi dan berkembang di kalangan pendukungnya. Pada zaman Orde Baru, aspiran ini diwakili antara lain oleh Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai almrhn. Moh. Natsir. Setelah Reformasi, gagasan ini kembali diusung secara terbuka oleh PBB,PK dan PPP.

Yang menarik, meski tak terbuktikan secara konkrit, gerakan-gerakan Islam yang kemudian juga mengusung isu yang sama diyakini berbagai kalangan dibentuk dan atau difasilitasi oleh kalangan intelejen / militer. Organisasi-organisasi yang kerap disebut-sebut sebagai binaan tentara adalah Laskar Jihad dan juga FPI.

Tudingan itu semakin mengental di benak publik karena umumnya aktivitas mereka yang melanggar hukum bagai dibiarkan saja oleh aparat keamanan, baik polisi atau tentara (sebelum reformasi TNI digulirkan). Sosiolog Thamrin Amal Tomagola dalam artikelnya di kompas menyebut organisasi-organisasi ini sebagai “anak macan”.

Meski begitu, dua organisasi ini diyakini tak terpaut secara komando politik dengan Majelis Mujahidin Indonesia ataupun Hizbur Tahrir Indonesia. Yang kedua terakhir ini dianggap lebih “internasionalis”.

Kedua, wacana tudingan antek asing selalu saja dikumandangkan untuk mendelegitimasi organisasi kewargaaan, baik LSM maupun ormas. LSM-LSM yang kena tuduh umumnya adalah LSM yang mengangkat agenda isu HAM dan Demokrasi seperti YLBHI, Kontras, Imparsial. Ormas yang kerap tuding didanai lembaga donor asing untuk merusak Islam tak lain saya-sayap organisasi dalam tubuh NU.

Dulunya, tudingan seperti ini mengalir dari mulut penguasa. Kini tudingan ini juga mulai ramai digencarkan oleh ormas dan LSM seperti dilakukan Munawarman baru-baru ini. Sebagai catatan, Munarman tercatat sebagai anggota Hizbur Tahrir Indonesia, selepas dirinya keluar dari YLBHI. Hingga kini, tudingan-tudingan seperti ini juga tak pernah tuntas diselesaikan seperti dibiarkan sebagai “senjata” pamungkas mendelegitimasi.

Jadi,sepertinya, gontok-gontokan politik di tanah air tak akan pernah lepas dari dua bingkai wacana tersebut.


Aksi

Information

Satu tanggapan

30 10 2013
braga

Tulisan menarik…
Catatan sy, Partai Daulat Rakyat (PDR) bukan sekoci Habibie, tapi murni besutan dan sekoci Adi Sasono.. Iklan Adi Sasono sebagai capres PDR sempat muncul satu halaman di Kompas.. Hal ini pula yang merenggangkan hubungan Adi Sasono dan Habibie.
Terima kasih,,

Tinggalkan Balasan ke braga Batalkan balasan